Minggu, 11 Januari 2015

Pupuh Gambuh Serat Wulangreh



G A M B U H
01
Sekar gambuh ping catur, kang cinatur polah kang kalantur, tanpa tutur katula-tula katali, kadaluwarsa kapatuh, katuruh pan dadi awon.

Sekar gambuh pola yang keempat,  yang menjadi bahan perbincangan adalah perlaku yang tidak teratur, tidak mau mendengar nasihat, semakin lama semakin tak terkendali, hal ini akan berakibat buruk.


02
Aja nganti kabanjur, barang polah ingkang nora jujur, yen kebanjur sayekti kojur tan becik, becik ngupayaa iku, pitutur ingkang sayektos.
Jangan sampai kau terlanjur dengan tingkah polah yang tidak jujur, jika sudah telanjur akan mecelakakan, dan hal itu tidak baik. Oleh karena itu, berusahalah ajaran yang sejati.
03
Tutur bener puniku, sayektine apantes tiniru, nadyan metu saking wong sudra papeki, lamun becik nggone muruk, iku pantes sira anggo.

Ajaran yang benar itu patut kau ikuti, meskipun berasal dari orang yang rendah derajatnya, namun jika baik dalam mengajarkan, maka ia pantas kau terima.
04
Ana pocapanipun, adiguna adigang adigung, pan adigang kidang adigung pan esthi, adiguna ula iku, telu pisan mati sampyoh.
Ada kiasa yang berbunyi adiguna, adigang, adigung, adigang kiasan kijang, adigung kiasan gajah, dan adiguna kiasan ular. Ketiganya mati bersamaan.
05
Si kidang ambegipun, angandelaken kebat lumpatipun, pan si gajah angandelken gung ainggil, ula ngandelaken iku, mandine kalamun nyakot.

Tabiat si kijang adalah menyombongkan kecepatannya berlari, si gajah menyombongkan tubuhnya yang tinggi besar, sedangkan si ular menyombongkan bisaya yang ganas bila menggigit.
06
Iku upamanipun, aja ngandelaken sira iku, suteng nata iya sapa kumawani, iku ambeke wong digang, ing wasana dadi asor.
Itu semua hanya perumpamaan, janganlah kau menyombongkan diri karena putra raja sehingga merasa tidak mungkin ada yang berani, itu tabiat yang adiganng, ujung-ujungnya merendahkanmu.


07
Adiguna puniku, ngandelaken kapinteranipun, samubarang kabisan dipundheweki, sapa bisa kaya ingsun, togging prana nora enjoh.

Watak adiguna adalah menyombongakan kepandaiannya, seluruh kepandaian adalah miliknya. Siapa yang bisa seperti aku, padahal akhirnya tidak sanggup.
08
Ambek adigung iku, angungasaken ing kasuranipun, para tantang candhala anyenyampahi, tinemenan nora pecus, satemah dadi geguyon.
Tabiat orang adigung adalah menyombongkan keperkasaan dan keberaniannya, semuanya ditantang berkelahi, bengis, dan suka mencela. Tetapi jika benar-benar dihadapi, ia tak akan melawan, bahkan jadi bahan tertawaan.

09
Ing wong urip puniku, aja nganggo ambek kang tetelu, anganggowa rereh ririh ngati-ati, den kawangwang barang laku, kang waskitha solahing wong.

Dalam kehidupan, jangan kau kedepankan tiga tabiat tersebut, berlakulah sabar, cermat, dan hati-hati. Perhatikan segala tingkah laku, waspadai segala perilaku orang lain.
10
Dene tetelu iku, si kidang suka ing panitipun, pan si gajah alena patinireki, si ula ing patinipun, ngandelaken upase mandos.

Dari ketiganya itu, si kijang mati karena kegembiraannya, gajah mati karena keteledorannya, sedangkan ular mati karena keganasan bisanya.
11
Tetelu nora patut, yen tiniru mapan dadi luput, titikane wong anom kurang wewadi, bungah akeh wong kang nggunggung, wekasane kajalomprong.

Ketiganya tidak patut kau tiru, kalau kau tiru akibatnya akan buruk. Ciri-ciri pemuda adalah tidak dapat menyimpan rahasia , senang bia banyak yang menyanjung yang akhirnya menjerumuskan.
12
Yen wong anom iku, kakehan panggunggung, dadi kumprung, pengung bingung wekasane pan angoling, yen ginunggung muncu-muncu, kaya wudun meh mencothot.

Jika pemuda terlalu banyak sanjungan, maka ia menjadi tolol, tuli, dan bingung, akhirnya mudah diombang-ambingkan, jika sedang dimuji, maka monyong seperti bisul yang hampir meletus
13
Dene kang padha nggunggung, pan sepele iku pamrihipun, mung warege wadhuk kalimising lathi, lan telese gondhangipun, reruba alaning uwong.

Adapun yang senang menyanjung sangat sederhana keinginannya, yaitu kenyang perut, basah lidah dan tenggorokan dengan menjual keburukan orang lain.
14
Amrih pareke iku, yen wus kanggep nuli gawe umuk, pan wong akeh sayektine padha wedi, tan wurung tanpa pisungsung, adol sanggup sakehing wong.
Supaya dekat (dengan atasan). Jika sudah terpakai kemudian membuat ulah dengan membuat orag menjadi takut sehingga ia menerima upeti dari hasil menjual kemampuan orang lain.
15
Yen wong mangkono iku, nora pantes cedhak lan wong agung, nora wurung anuntun panggawe juti, nanging ana pantesipun, wong mangkono didhedheplok.

Orang seperti itu tidak pantas untuk berdekata dengan pembesar karena dapat mendorong untuk berbuat jahat. Meskipun begitu tetap ada kepantasannya, yaitu ditumbuk.
16
Aja kakehan sanggup, durung weruh tuture agupruk, tutur nempil panganggepe wruh pribadi, pangrasane keh kang nggunggung, kang wus weruh amalengos.

Jangan terlalu merasa tahu banyak. Belum melihat dengan mata kepala sendiri tetapi banyak berbicara, bahkan hanya dengan mendengar seolah-olah mengetahui sendiri. Dikiranya banyak yang menyanjung, padahal yang mengetahuinya akan memalingkan muka.
17
Aja nganggo sireku, kalakuwan kang mangkono iku, nora wurung cinirenen den titeni, mring pawong sanak sadulur, nora nana kang pitados.

Oleh karena itu, Nak. Jangan kau bersikap seperti itu karena pasti akan mencadi catatan dalam hati sanak saudara. Mereka tidak akan percaya lagi kepadamu.

Asal Usul Aksara Jawa



Aksara Jawa merupakan salah satu aksara yang digunakan di Tanah Jawa dan sekitarnya, sering disebut aksara Jawa. Aksara Hancaraka sebenarnya diambil dari lima aksara pertama dalam aksara Jawa: “hana caraka”. Aksara Jawa sendiri berjumlah dua puluh aksara, yaitu:

 ha   na   ca   ra     ka
da   ta    sa   wa   la
pa   dha ja    ya   nya
ma  ga   ba   tha   nga

Tapi tahukah kalian asal mula aksara jawa? Berikut ini cerita tentang asal mulanya aksara jawa hanacaraka.

Dahulu kala, di sebuah kerajaan Medhangkamulan, bertahtalah seorang raja bernama Dewata Cengkar. Atau terkenal dengan nama Prabu Dewata Cengkar. Seorang raja yang sangat rakus, bengis, tamak, dan suka memakan daging manusia. Karena kegemarannya memakan daging manusia, maka secara bergilir rakyatnya pun dipaksa menyetor upeti berwujud manusia.

Mendengar kebengisan Prabu Dewata Cengkar, seorang pengembara bernama Aji Saka bermaksud menghentikan kebiasaan sang raja. Aji Saka mempunyai 2 orang abdi yang sangat setia bernama Dora dan Sembada. Dalam perjalanannya ke kerajaan Medhangkamulan,­ Aji Saka mengajak Dora, sedangkan Sembada tetap ditempat karena harus menjaga sebuah pusaka sakti milik Aji Saka. Aji Saka berpesan kepada Sembada, agar jangan sampai pusaka itu diberikan kepada siapapun kecuali aku (Aji Saka).

Setelah beberapa waktu, sampailah Aji Saka di kerajaan Medhangkamulan yang sepi. Rakyat di kerajaan itu takut keluar rumah, karena takut menjadi santapan lezat sang raja yang bengis. Aji Saka segera menuju istana dan menjumpai sang patih. Dia berkata kalau dirinya sanggup dan siap dijadikan santapan Prabu Dewata Cengkar.

Tibalah pada hari dimana Aji Saka akan dimakan oleh Prabu Dewata Cengkar. Sebelum dimakan, sang prabu selalu mengabulkan 1 permintaan dari calon korban. Dan Aji Saka dengan tenang meminta tanah seluas syurban kepalanya. Mendengar permintaan Aji Saka, Prabu Dewata Cengkar hanya tertawa terbahak-bahak,­ dan langsung menyetujuinya. Maka dibukalah kain syurban penutup kepala Aji Saka.

Aji Saka memegang salah satu ujung syurban, sedangkan yang lain dipegang oleh Prabu Dewata Cengkar. Aneh, ternyata syurban itu seperti mengembang sehingga Dewata Cengkar harus berjalan mundur, mundur, dan mundur hingga sampai di tepi pantai selatan. Begitu Dewata Cengkar sampai di tepi pantai selatan, Aji Saka dengan cepat mengibaskan syurbannya sehingga membungkus badan Dewata Cengkar, dan menendangnya hingga terjebur di laut selatan. Tiba-tiba saja tubuh Dewata Cengkar berubah menjadi buaya putih. “Karena engkau suka memakan daging manusia, maka engkau pantas menjadi buaya, dan tempat yang tepat untuk seekor buaya adalah di laut” demikian kata Aji Saka.

Sejak saat itu, Kerajaan Medhangkamulan dipimpin oleh Aji Saka. Seorng raja yang arif dan bijaksana. Tiba-tiba Aji Saka teringat akan pusaka saktinya, dan menyuruh Dora untuk mengambilnya. Namun Sembada tidak mau memberikan pusaka itu, karena teringat pesan Aji Saka. Maka terjadilah pertarungan yang hebar diantara Dora dan Sembada. Karena memiliki ilmu dan kesaktian yang seimbang, maka meninggallah Dora dan Sembada secara bersamaan.

Aji Saka yang teringat akan pesannya kepada Sembada, segera menyusul. Namun terlambat, karena sesampai di sana, kedua abdinya yang sangat setia itu sudah meninggal dunia. Untuk mengenang keduanya, maka Aji Saka mengabadikannya­ dalam sebuah Aksara / huruf yang bunyi dan tulisannya :


Ha Na Ca Ra Ka (ono utusan = ada utusan)

Da Ta Sa Wa La (padha kekerengan = saling berkelahi)

Pa Da Ja Ya Nya (padha digdayane = sama-sama saktinya)

Ma Ga Ba Tha Nga (padha nyunggi bathange = saling berpangku saat meninggal

Wuku



Wuku adalah nama sebuah siklus waktu yang berlangsung selama 30 pekan atau minggu. Satu minggu terdiri dari tujuh hari sehingga satu siklus wuku terdiri dari 210 hari. Perhitungan wuku dalam bahasa Jawa disebut pawukon, perhitungan ini terutama masih digunakan di dalam adat Bali dan adat Jawa.

Ide dasar perhitungan menurut wuku ini adalah bertemunya dua hari dalam sistem pancawara atau dalam bahasa jawa disebut pasaran dan saptawara atua minggu, menjadi satu. Sistem pancawara atau pasaran terdiri dari lima hari, sedangkan sistem saptawara atau minggu terdiri dari tujuh hari.

Dalam satu wuku, pertemuan antara hari pasaran dan hari minggu sudah pasti. Misalkan hari Sabtu-Pon terjadi dalam wuku Wugu. Menurut kepercayaan tradisional adat orang Bali dan Jawa, semua hari-hari ini memiliki makna khusus.

Nama-nama wuku yang tiga puluh didasarkan pada suatu kisah mengenai suatu kerajaan yang dipimpin oleh Prabu Watugunung. Perlu diketahui bahwa setiap tahun Dewi Sinta melahirkan anak laki-laki kembar hingga sampai 13 kali. Sedangkan anak laki-laki yang lahir ke 14 tidak kembar. Nama-nama isteri dan anak Prabu Watugunug itulah yang kemudian dijadian nama wuku yang berjumlah 30.

Karena proses pengangkatan ke surga setiap minggu, maka setiap satu wuku berumur 7 hari, dimulai dari hari minggu hingga hari Sabtu, sehingga satu putaran keseluruhan wuku atau pawukon = 30 x 7 hari = 210 hari. Nama-nama semua tokoh inilah yang menjadi nama-nama setiap wuku. Setiap wuku menurut kepercayaan di kaum tradisional adat di Bali dan Jawa dilindungi oleh seorang pelindung.

Berikut Nama-nama Wuku serta gambar ilustrasi batara yang melindungi:

Wuku Sinta - Batara Yama
Wuku Landep - Batara Mahadewa
Wuku Wukir, Ukir - Batara Mahayakti
Wuku Kurantil, Kulantir - Batara Langsur
Wuku Tolu, Tulu - Batara Bayu
Wuku Gumbreg - Batara Candra
Wuku Wariga alit, Wariga - Batara Asmara
Wuku Wariga agung, Warigadian - Batara Maharesi
Wuku Julangwangi, Julungwangi - Batara Sambu
Wuku Sungsang - Batara Gana Ganesa
Wuku Galungan, Dungulan - Batara Kamajaya
Wuku Kuningan - Batara Indra.
Wuku Langkir - Batara Kala
Wuku Mandasiya, Medangsia - Batara Brahma
Wuku Julung pujut, Pujut - Batara Guritna
Wuku Pahang- Batara Tantra
Wuku Kuru welut, Krulut - Batara Wisnu
Wuku Marakeh, Merakih - Batara Suranggana
Wuku Tambir - Batara Siwa
Wuku Medangkungan - Batara Basuki
Wuku Maktal - Batara Sakri
Wuku Wuye, Uye - Batara Kowera
Wuku Manahil, Menail - Batara Citragotra
Wuku Prangbakat - Batara Bisma
Wuku Bala - Batara Durga
Wuku Wugu. Ugu - Batara Singajanma
Wuku Wayang - Batara Sri
Wuku Kulawu, Kelawu - Batara Sadana
Wuku Dukut - Batara Sakri.
Wuku Watu gunung - Batara Anantaboga.