
PERBANDINGAN NOVEL NGULANDARA KARYA MARGANA DJAJAATMADJA
DAN KATRESNAN LINGSIR SORE KARYA YUNANI
Tugas
ini Guna memenuhi tugas mata kuliah sastra bandingan
Oleh
Aditya Denny Sundoro
2601413085
Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa
Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Semarang
2014
Kata Pengantar
Puji
syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang mana telah memberikan
rahmat dan petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
makalah yang berjudul “Perbandingan Novel
Ngulandara Karya Margana Djajaatmadja dan Katresnan Lingsir Sore
Karya Yunani” dengan baik.
Sebelumnya, penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Dosen Pembimbing yang telah
memberikan tugas ini dan yang telah membimbing penulis dalam penyelesaian
tugas ini, sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan baik.
Penulis
menyadari berbagai kelemahan dan keterbatasan yang ada, sehingga terbuka
kemungkinan terjadinya kesalahan dalam penulisan makalah penelitian ini.
Penulis sangat memerlukan kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca makalah penelitian ini, terutama Bapak Dosen untuk penyempurnaan makalah
penelitian ini.
Demikianlah yang dapat
penulis sampaikan, penulis berharap semoga makalah penelitian ini bermanfaat
bagi siapa pun yang membacanya.
Semarang, 14 Oktober 2014
Aditya Denny S
Daftar Isi
1.1 Latar Belakang
Novel
merupakan sebuah karya sastra yang tidak dapat dibaca selesai dalam sekali
duduk, karena panjangnya sebuah novel secara khusus cukup untuk mempermasalahkan
karakter, peranan sosial tokoh dan pandangan hidup tokoh dalam perjalanan
waktu. Jadi, dalam perjalanan panjang inilah yang dapat menggambarkan
perjuangan seorang tokoh dalam menghadapi kehidupannya yang penyajiannya secara
panjang lebar. Oleh karena itu tidak mengherankan jika posisi manusia dalam
masyarakat menjadi pokok permasalahan yang selalu menarik perhatian para
novelis.
Novel
sebagai salah satu jenis karya sastra, dibentuk oleh unsur-unsur intrinsik dan
ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur formal yang membangun sebuah karya
sastra dari dalam secara intern. Unsur-unsur tersebut antara lain, tema,
amanat, plot, perwatakan, latar, dan pusat pengisahan. Unsur ekstrinsik adalah
unsur dari luar dunia kesastraan yang berpengaruh terhadap karya sastra. Setiap
unsur yang membentuk karya sastra tersebut tidak dapat berdiri sendiri dan
senantiasa berkaitan satu dengan lainnya. Dalam hubungan fungsional yang erat
dan membentuk suatu totalitas
Sastra
bandingan adalah studi sastra bandingan secara totalitas, karena sastra
bandingan identik dengan sastra dunia, sastra umum atau sastra universal.
Pengkajian sastra bandingan pada dasarnya tidak harus terpaku pada karya-karya
klasik dari sastrawan yang terkenal, karena dalam kajian sastra bandingan tidak
jauh berbeda dengan kegiatan mengapresiasi suatu karya sastra.
Dari sekian
banyak negara di dunia yang memiliki karya sastra novel dengan motif yang
hampir sama baik dalam negara maupun dengan negara lain. Sebuah novel dapat
memiliki kemiripan dengan novel atau yang lainnya, baik dalam unsur intrinsik
maupun unsur ekstrinsiknya. Namun, dalam karya sastra tersebut selain terdapat
kesamaan tentunya terdapat perbedaan di dalamnya. Kajian ini lebih menitik beratkan
pada kajian dalam satu negara, namun karya sastra yang digunakan dapat dilihat
dari kurun waktu yang berbeda.
Melalui kajian bandingan ini, penulis akan mengkaji perbedaan secara
intertekstual dalam sebuah novel. Pengkajian ini dilakukan pada novel
Ngulandara karya Margono Djajaatmadja dan novel Katresnan Lingsir Sore karya
Yunani. Perbandingan novel Ngulandara karya Margono Djajaatmadja dan novel
Katresnan Lingsir Sore karya Yunani dapat dilihat dan dipahami dengan mudah
oleh pembaca. Sejarah perkembangan sastra jawa,
khusunya novel, menunjukan adanya perkembangan yang sangat pesat. Penulisan
novel bahasa jawa senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan-perubahan
sejalan dengan makna kreativitas yang melekat pada sifat karya sastra. Hal ini
terbukti dengan jumlah novel yang terlahir saat ini, dengan berbagai ragam
masalah yang diangkat sebagai tema, serta berbagai masalah yang semakin melekat
pada diri sang tokoh yang terlibat didalamnya.
Perwatakan sebagai salah satu unsur intrinsik
sastra, sangat menarik untuk dikaji atau diteliti, kajian perwatakan tokoh
novel yang semakin menarik, jika tokoh yamg ditampilkan adalah tokoh yang
memiliki kadar life like yang tinggi. Pembaca cenderung mengharapkan
agar orang-orang atau tokoh-tokoh dalam fiksi “mirip” dengan orang-orang dalam
kehidupan yang sesungguhnya.
Sebuah
cerita berjalan berdasarkan tingkah laku dan pengalaman tokoh cerita. Melalui
tokoh ini pula, pembaca mengikuti jalannya seluruh cerita. Oleh karena itu
pembaca akan lebih jelas mengenai maksud suatu cerita apabila ia mengenal watak
tokoh cerita.
Dalam istilah fiksi sering digunakan istilah karakter,
istilah karakter “character” dalam literatur bhasa Inggris menyarankan kepada
pengertian (1) tokoh yang ditampilkan dalam karya sastra, (2) sikap,
ketertarikan, keinginan-keinginan, kecenderungan-kecenderungan emosi dan
prinsip yang dimiliki oleh tokoh tersebut. Perwatakan sebagai salah satu unsur
intrinsik novel, penyajiannya sering dipengaruhi oleh berbagai ilmu pengetahuan
lain, salah satunya adalah psikologi
Oleh karena itu dapat diambil beberapa permasalahan
dari penelitian ini. Permasalahan tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut
:
1. Bagaimana
unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Ngulandara
karya Margono Djajaatmadja dan novel
Katresnan Lingsir Sore karya Yunani ?
2. Bagaimana
perbedaan tokoh utama dalam novel “Ngulandara karya Margono Djajaatmadja dan novel
Katresnan Lingsir Sore karya Yunani ?
Tujuan dari makalah ini
yaitu untuk membandingkan antara kedua Novel tersebut antara Katresnan
lingsir sore karya Yunani dan novel Ngulandarakarya Margana
Djajaatmadja. Perbandingan itu dilihat dari segi Buah pikiran dan perwatakan
tokoh utama dari kedua novel tersebut. Makalah ini juga bertujuan agar pembaca
mampu mengetahui isi dari perbandingan kedua novel dengan lebih tepat dan
jelasnya. Tujuan lainnya yaitu mendeskripsikan :
1.
Deskripsi unsur-unsur intrinsik yang
terdapat dalam novel Ngulandara karya Margono Djajaatmadja dan novel Katresnan
Lingsir Sore karya Yunani
2.
Deskripsi perbedaan tokoh utama dalam novel “Ngulandara karya Margono Djajaatmadja dan novel Katresnan
Lingsir Sore karya Yunani
Menurut Endraswara (2011:1-2) hakikat sastra bandingan
adalah membandingkan dua karya atau lebih. Menurut Damono (2005:1; 2009:1),
sastra bandingan adalah suatu pendekatan dalam ilmu sastra yang tidak dapat
menghasilkan teori sendiri. Bisa dikatakan, teori apapun dapat dimanfaatkan
dalam penelitian sastra bandingan, sesuai dengan objek dan tujuan penelitian.
Jadi, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa sastra bandingan adalah
kegiatan membandingkan dua karya sastra atau lebih yang memiliki persamaan dan
perbedaan dalam hal unsur-unsur yang dikandungnya.
Pengertian paham atau prinsip
intertekstualitas berasal dari Perancis dan bersumber pada aliran dalam
strukturalisme Perancis yang dipengaruhi oleh pemikiran filsuf Perancis, Jaques
Derrida dan dikembangkan oleh Julia Kristeva. Prinsip
ini bermakna bahwa setiap teks sastra dibaca dan harus dengan latar belakang
teks-teks lain
Secara luas, interteks diartikan sebagai jaringan
hubungan antara saru teks dengan teks lain. Secara etimologis berasal dari
bahasa Latin, textus berarti tenunan,
anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan (Ratna, 2012:172). (Endraswara
(2011:201) menyatakan, studi intertekstualitas mempelajari keseimbangan antara
unsur intrinsik dan ekstrinsik teks yang disesuaikan dengan fungsi teks di
masyarakat. Jadi, studi intertekstual merupakan studi yang mempelajari hubungan
atau keterjalinan atara teks yang satu dengan teks lainnya untuk mengemukakan
unsur-unsur dan makna yang terkandung di dalam.
Suatu teks baru muncul didasari pada teks-teks yang
mendahuluinya. Teks-teks terdahulu dapat dikatakan sebagai hipogram (hypogram). Hipogram dapat berupa ide,
gagasan, wawasan, dan lain sebagainya yang terdapat dalam teks-teks terdahulu.
Hipogram inilah yang menjadi konsep penting dalam teori interteks, terutama dalam
mengungkap afinitas dua buah karya sastra.
Hipogram adalah karya sastra
yang menjadi latar kelahiran karya berikutnya. Hutomo (dalam Sudikan)
merumuskan hipogram sebagai unsur cerita (baik berupa ide, kalimat, ungkapan,
peristiwa, dan lain-lain) yang terdapat dalam suatu teks sastra pendahulu yang
kemudian teks sastra yang dipengaruhinya. Karya berikutnya yang muncul setelah
hipogram dinamakan karya transformasi. Hipogram dan transformasi ini akan
berjalan terus menerus sejauh proses sastra itu hidup. Hipogram merupakan
“induk” yang akan menghasilkan karya-karya baru. Dalam hal ini, peneliti sastra
berusaha membandingkan antara karya induk dengan karya baru. Namun, tidak ingin
mencari keaslian sehingga muncul anggapan bahwa karya yang lama/lebih tua itu
lebih baik ketimbang karya baru. Studi interteks ini justru ingin melihat
tingkat kreativitas pengarang.
Penelitian interteks sebenarnya
merupakan usaha pemahaman sastra sebagai sebuah “presupposition” yakni sebuah
perkiraan bahwa suatu teks baru mengandung teks lain sebelumnya. Perkiraan ini,
tentu ada yang tepat dan ada yang meleset, tergantung kejelian peneliti. Secara
garis besar, penelitian intertekstual memiliki dua fokus, yaitu : 1) meminta
perhatian kita tentang pentingnya teks yang terdahulu, dan 2) intertekstual
akan membimbing peneliti untuk mempertimbangkan teks terdahulu sebagai
penyumbang kode yang memungkinkan lahirnya berbagai efek signifikansi.
Karya sastra sebagai
struktural, berarti karya tersebut merupakan unsur yang bersistem dan antara
unsur yang satu dengan unsur yang lain menunjukan hubungan atau kaitan timbal
balik dan saling menentukan (Pradopo, 1987:118). Setiap unsur yang membentuk
karya satra tidak dapat berdiri sendiri dan unsur-unsur tersebut senantiasa
berkaitan antara satu dengan yang lainnya dalam hubungan fungsional yang erat.
Teew berpendapat bahwa
sastra dapat dipandang sebagai suatu rekaan, hasil imajinasi, dan
fiksionalitas. Denan demikian karya sastra membina dunia otonom yang minta
dinikmati demi dirinya sendiri (Sayuti, 1986: 43). Aristoteles menyebut karya
sastra sebagai unified whole, artinya tiap-tiap bagian atau tiap unsur
karya sastra merupakan bahan organik pembangun karya seni, sehingga apabila ada
bagian yang diletakkan ditempat lain akan sangat mengganggu efek keutuhan karya
sastra itu sendiri.
Sastra, bila kita lihat sangat kompleks telah
mengaburkan batasan sastra sebagai obyek kajian keilmuan. Itulah sebabnya Teeuw
(1984) menuliskan bahwa sastra sebagai obyek kajian usaha yang dilakukan
sepanjang masa untuk memberi batasan yang tegas atas pertanyaan : ‘apakah
sastra itu?’, namun batasan manapun juga yang diberikan oleh para ilmuwan tidak
kesampaian. Hal ini dikarenakan batasan sastra itu hanya menekakan satu atau
bebrapa aspek saja, atau hanya berlaku untuk sastra tertentu saja, atau
sebaliknya, terlalu luas dan longgar melingkupi banyak hal yang jelas bukan
sastra lagi.
Analisis fiksi meliputi analisis terhadap semua
elemen pembangun fiksi itu, yang mencakup fakta cerita, dan tema (Stanton
melalui Sayuti, 1988: 3). Fakta cerita meliputi plot, tokoh, dan latar. Sarana
cerita merupakan hal-hal yang dimanfaatkan oleh pengarang dalam memilih dan
menata detil-detil cerita sehingga tercipta pola yang bermakna, seperti unsure
judul, sudut pandang, gaya dan nada, dan sebagainnya (Sayuti,1988: 3). Istilah
karakter “character” dalam literature bahasa Inggris menyaran pada pengertian “
satu tokoh cerita yang ditampilakan dalam karya sastra (fiksi), dan dua sikap,
ketertarikan, keinginan-keinginan, kecenderungan-kecenderungan, emosi dan
prinsip moral yang dimiliki tokoh tersebut (Stanton, 1965: 17 via Nurgiantoro
1990: 8). Jadi yang pertama yang menyaran pada orangnya, pelaku cerita,
sedangkan yang kedua perwatakannya, pada kwalitas pribadi seorang tokoh.
Anatara seorang tokoh dengan perwatakan yang dimiliki merupakan suatu kepaduan
yang utuh. Penyebutan tokoh tertentu, tak jarang, sekaligus mengisyaratkan
kepada kita tentang perwatakan yang dimilikinya..
Di dalam menganalisis dan menilai tokoh-tokoh maka
terdapat pertanyaan-pertanyaan tertentu yang cocok untuk dialamatkan padanya.
Pertama, apakah relevan tokoh (karakter) X terhadap atau dengan kita?. Kedua,
dalam hal apakah atau dalam hal manakah tokoh (karakter) tersebut
menopang cerita secara keseluruhan, di mana tokoh itu sendiri atau menjadi
bagian dirinya?. Penganalisisan atau penilaian apapun yang mengabaikan salah
satu pertanyaan ini boleh jadi akan tidak cukup meyakinkan (Sayuti, 1988: 37).
Masalah kewajaran tokoh sering dikaitkan dengan pernyataan
kehidupan manusia. Seorang tokoh dikatakan wajar, relevan, jika ia mempunyai
kemiripan dengan kehidupan manusia sesungguhnya “ Lifelike” tokoh cerita
yang hendaknya bersifat alami, memiliki Lifelikeness “kesepertihidupan” paling
tidak itulah harapan para pembaca (Sayuti, 1988: 27).
3.1 Metode
Penelitian
Intertekstualitas
merupakan studi yang mempelajari keseimbangan antara unsur intrinsik dan
ekstrinsik teks yang disesuaikan dengan fungsi teks di masyarakat (Endaraswara,
2011:201). Penelitian intertekstualitas di pihak lain mengasumsikan bahwa
sebuah karya ditulis berdasarkan karya yang lain, yaitu karya yang menjadi
hipogramnya. Demikian pula dengan sastra bandingan, yang berasumsi bahwa ada
“deretan” sastra yang memiliki kemiripan satu sama lain (Endraswara, 2011:202)
Objek yang
digunakan pada penelitian sastra bandingan ini adalah novel
Ngulandara karya Margono Djajaatmadja
dan novel Katresnan Lingsir Sore karya
Yunani.
Pengumpulan
data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Membaca
teks novel Ngulandara karya Margono Djajaatmadja. secara
keseluruhan, mencatat bagian-bagian yang sesuai dengan masalah.
2. Membaca
teks novel Katresnan Lingsir Sore karya Yunani. secara
keseluruhan, mencatat bagian-bagian yang sesuai dengan masalah.
Katresnan Lingsir Sore adalah Novel karya
sastra Yunani kelahiran Tuban 02 februari 1946. diterbitkan oleh yayasan
penerbit Jayabaya Surabaya tahun 2000. beliau mulai menulis sejak tahun 1970.
karya beliau berbentuk cerkak dan gegurita yang diterbitkan oleh Jayabaya,
Panjebar Semangat, terbitan Surabaya. Tebal Katresnan Lingsir Sore 197
yang terbagi atas 4 bab, tiap bab merupakan episode.
Episode
1
Perjalanan Saraswati ke Singapura bersama rombongan
Ria Tour dengan Pesawat Garuda 836. kepergiannya yang sebenarnya adalah untuk
melupakan perasaan amarah dan kecewanya kepada anak ragilnya yang pindah ke
Jakarta, sementara Saras tidak menyetujuinya dan tidak ingin melihat kepergian
anaknya (Bagaskara). Perjalanan Saraswati ke Singapura yang akhirnya
mempertemukan dia dengan seorang pria paruh baya yang bernama Indrajit, dan
seorang putrinya yang bernama Ananda. Pertemuan yang berawal dengan acara
potret memotret.
Rombongan (Ria Tour) menginap di Hotel Holiday Inn
yang bertempat di pusat Bisnis GDB, Central Bussines Distric. Ternyata
pertemuan karyawati dan Indrajit pun berlanjut saat tanpa sengaja sedang makan
di Restorant.
Saras kaget ketika mengetahui bahwa Indrajit adalah
seorang Duda, setelah mengetahui itu Saras mencoba sedikit menjaga jarak,
tetapi Indrajit tetap saja mendekatinya. Sepandai-pandainya Saras menghindar,
namun tetap saja Indrajit dengan tiba-tiba bisa tetap disamping atau
dibelakangnya. Bukan hanya dengan Indrajit saja, namun kedekatan itu juga
terjadi dengan putri Indrajit yang bernama Ananda, karena kebetulan Saras
sekamar dengan Ananda.
Pagi itu Saras menyempatkan diri menelusuri
sepanjang jalan scott Road. Saat ia sedang duduk tiba-tiba diatas jembatan
terlihat Indrajit melambai-lambaikan tangannya. Dalam batin Saras dia jengkel,
tetapi dia tidak kuasa ketika Indrajit minta untuk duduk disampingnya.
Saras memperhatikan Indrajit. Baru sekali ini Saras
memperhatikan seorang pria. Saat muda pasti dia amat tampan, berbadan besar,
tegap, dengan rambut cepak menunjukkan bahwa dia adalah pensiunan ABRI. Sejak
itu Indrajit jadi sering mengajak Saras keluar, padahal Saras lebih suka bepergian
sendiri. Malam itu dia berjalan bersama Indrajit menelusuri jalan Scott Road
kemudian kejalan Orchard Road, akhirnya mereka ikut duduk di taman pinggir
trotoar depan Far East plaza. 4 hari 3 malam di Singapura serasa begitu cepat
serasa belum puas.
Hari minggu sore setelah selesai berbelanja
rombongan dari Ria Tour kembali ke Surabaya menggunakan pesawat garuda 837.
Hati Indrajit terasa sedih akan perpisahannya dengan Saraswati, jam 06.15
pesawat Garuda 837 mendarat dibandara Juanda. Saraswati, indra, ananda saling
bersalaman tidak terlihat sedih seperti biasa. Mereka naik taxi dan berpisah
meninggalkan Bandara. Serasa ada yang hilang dari diri Indra sepi, kembali
sunyi sama seperti sebelum ke Singapura.
Episode
II
Pagi itu Saraswati sengaja ke kantor pagi-pagi
semangatnya untuk bekerja tumbuh lagi. jam 10 persis ada telepon dari Indrajit,
sejak hari itu setiap hari Indrajit selalu menelepon Saras dari Batu, jika
tidak di kantor pasti telepon rumah. Hari jumat siang Indrajit menelepon ke
kantor Saras memberitahukan bahwa dia kangen dan ingin bertemu. Saraswati
mencoba menolaknya dengan berbagai alasan. Anehnya dalam hatinya merasa kecewa
apabila tidak jadi bertemu dengan Indrajit. Karena sebenarnya Saraswati juga
kangen dan ingin bertemu. Hubungan Saraswati dan Indrajit semakin lama semakin
dekat. Hampir setiap malam minggu Indrajit malam mingguan di Surabaya.
Hari minggu, Saras mempunyai rencana ingin ke tempat
Indrajit di Batu, Malang. Ketika keiginan tersebut diberitahukan kepada
Indrajit. Keingina itu ditanggapi dengan begitu gembira. Sudah lama Indrajit
ingin mengajak Saras ke Batu, tetapi Saras selalu menolak, maka berhubung Saras
yang meminta untuk kerumahnya, Indrajit berjanji akan menjemput di Surabaya.
Pagi itu Indrajit menjemput dirumah Saraswati di
Bendul Merisi Indah, sampai dirumahnya Saras sudah menuggu, memakai jeans biru
tua, kaos lengan panjang merah muda, terlihat serasi. Rambut yang jatuh
dipundak memakai bando hitam. Saras terlihat lebih muda. Rangga pergi tennis,
tidak dirumah. Akhirnya mereka pergi berpamitan. Dalam perjalanan Indrajit
sering melirik Saraswati melalui kaca.
Sudah lama Saraswati melihat pemandangan yang
seperti ini. Pagi itu ada perasaan senang barcampur sedih didalam hatinya.
Mendengar suara deheman Indrajit dari belakang membuyarkan lamunannya. Akhirnya
terjadi percakapan antara mereka. Indrajit mulai bercerita tentang
kehidupannya. Dari saat dia adalah anak satu-satunya. Terjadi percakapan dimana
Saraswati memberikan berbagai pertanyaan kepada Indrajid tentang kehidupan
pribadinya. Saraswati mencoba diam, berdiri dengan tegak lalu mendekati pagar
teras.
Ada perasaan yang berdesir didalam hati
Saraswati,sama seperti saat dia masih remaja tatkala ada seorang pria yang
mencoba mendekatinya. Saat itulah Indrajit menyatakan semua perasaanya kepada
Saraswati. tetapi Inrajit mencoba mengerti, bahwa memang amat sulit untuk
memutuskan sebuah keputusan. Mendengarkan kta-kata Indrajit yang begitu banyak
membuat Saraswati menangis, teringat kemabali akan ingatanya pada kehidupan
keluarganya yang gagal. Melihat hal itu Indrajit mencoba mengalihkan perhatian
Saraswati dengan membawanya berjalan-jalan melihat kebunnya.
Diam-diam Saras berpikir, ternyata Indrajid
kehidupannya berkecukupan. Pilihannya tidak salah apabila ia mau menjadi istri
Indrajit. Sesampainya Saras dirumah, diceritakanya tentang semua apa yang ia
lihat diramah Indrajit di Batu kepada anak rangga ikut senang melihat hati
ibunya yang sudah mulai mebuka hatinya untuk pria yang akan meminangnya menjadi
istrinya.
Pagi itu Rangga sedang mencuci mobil didepan rumah.
Daihatzu espass berwarna biru tua yang ia beli bersama ibunya. Sedang asyik
menyemproti mobil sambil bersiul lagu ’When I Need You’ tiba-tiba ada sepeda
motor berhenti di belakangnya.yang dinaiki oleh seorang gadis cantik
memakai kaos orange dan celana berwarna biru tua. Gadis itu mencari Saras
tetapi yang dicarinya sedang pergi. Sejak pertemuan itulah mereka mulai
mempunyai perasaan yang sama. Mereka jadi lebih sering bertemu diluar
sepengetahuan Saras dan Indrajit. Mereka saling mencintai, padahal saat itu
Saras dan Indrajit sedang merancang rencana mereka untuk melanjutkan hubungan
kearah yang lebih serius. Sejak itu, rangga setiap bertemu ibunya seperti seorang
pesakitan. Saat itulah Ananda dan Rangga mencoba memberanikan diri untuk
memberitahukan hubungan mereka kepada Saras dan Indrajit. Betapa marah dan
kecewanya Saras dan Indrajit mendengar berita itu. Apalagi Saras, bukan hanya
itu saja. Ananda dan Rangga ingin melanjutkan hubungan mereka sampai kepernikahan.
Hal itu membuat Saras semakin marah.
Episode
III
Kantor tempat kerja Saraswati di Graha pena tingkat
dua. Untuk naik ke atas Saras lebih senang lewat tangga sanbil olah raga.
Walaupun ia harus megap-megap. Saat masuk ia langsung disambut oleh Rohana sahabat
sekaligus partner kerjanya. Harapan dan impian yang telah direncanakan hancur
seketika seiring dengan bersemi cinta Rangga dan Ananda. Kesedihan dan
kekecewaan selalu menyelimuti perasaan Saraswati, untuk mengobati perasaan
tersebut maka ketika rekan kerja Saraswati ditugaskan ke Jakarta, ia meminta
untuk menggantikannya. Saraswatipun berangkat ke Jakarta untuk meliput acara
pentas seni dan gelar para normal.
Kepergian Saraswati yang tidak pamit kepada siapapun
membuaat Indrajit begitu sedih dan terluka. Indrajit begitu tahu betapa sakit
dan kecewanya hati Saraswati sampai-sampai ia harus pergi begitu jauh tanpa ada
pesan. Selama dua minggu Saraswati berada di Jakarta tanpa sengaja ia bertemu
dengan pacar lamanya waktu dulu ia masih SMA, ia bernama Aris. Aris telah
memiliki anak 3 dari dua istri yang berbeda. Istri pertamanya meninggal bersama
anak keduanya ketika ia melahirkan. Dan istri keduanya memilih pergi
meninggalkan Aris dan anaknya. Oleh karena Aris lebih mementingkan pekerjaannya
dan mengabaikan urusan rumah tangganya. Rasa sakit hati dan amarah Saraswati
kepada Indrajit membuatnya enggan menemuinya Saat Indrajit datang ke Jakarta
untuk menemuinya. Tetapi sebenarnya ia begitu kangen kepada Indrajit.
Sesampainya di Surabaya mbok Suli sudah menyambutnya
sambil membawakan barang-barang bawaannya, mbok suli menceritakan perihal
keadaan Ananda dirumah sakit. Saraswati merasa sangat kaget dengan cerita mbok
Suli. Tersebut. Saraswati bingung, kenapa tidak ada yang mengabari perihal
keadaan Ananda. Setelah Rangga pulang, akhirnya mereka menjenguk Ananda dirumah
sakit. Melihat keadaan Ananda yang begitu memprihatinkan, timbul perasaan iba
dan rasa bersalah. Apalagi setelah diketahui bahwa Ananda mencoba bunuh diri
dengan cara meminum obat flu yang berlebihan.
Melihat keadaan itu akhirnya Saraswati mengalah
untuk menyetujuinya dan berjanji setelah Ananda sembuh nanti ia akan
melamarnya. Akhirnya pernikahanpun terjadi dengan lancar dan khidmat. Setelah
pernikahan dan Rangga pergi bulan madu Saras berencana pergi menyusul bagaskara
ke Jakarta tanpa memberitahukan kepada siapapun. Indrajit begitu kaget dengan
kepergian Saran yang begitu tiba-tiba.
Sesampainya di Jakarta mencoba melupakan semua
kenangan tentang Indrajit. Sejak itulah ia menjadi dekat kembali, seakan-akan
ia seperti menemukan cintanya kembali yang telah hilang. Bahkan mereka sempat
merencanakan akan sampai kepernikahan. Beberapa kali Indrajit menelpon, bahakan
sempat menjempunya ke Jakarta untuk mengajaknya pulang, karena Ananda akan
melakukan selamatan kehamilannya. Namun tetap saja ia tidak mau pulang. Saras
sudah kukuh dengan pendiriannya. Sampai-sampai Ananda melahirkanpun Saras tetap
tidak mau pulang ke Surabaya.
Episode
IV
Namun betapa kagetnya ketika Saras tahu bahwa Aris
yang dianggapnya sebagai satu-satunya pria yang mungkin akan membahagiakan dia,
tapi ternyata ia hanyalah seorang Lelaki berhidung belang. Saras merasa
keberatan dengan gaya hidup yang sudah berubah menjadi kehidupan yang glamor,
suka gonta-ganti wanita yang cantik-cantik dan muda-muda. Aris merusaha
menjelaskan tentang keadaan kehidupannya dan posisinya yang hidup di Jakarta
dan dikellingi banyak artis. Saraswati begitu kecewa dan sakit hati mendengar
kenyataan bahwa aris yang sekarang beda dengan Aris yang dulu. Dan akhinya
Saras berpisah dengan Aris. Untuk kesekian kalinya lagi saras kecewa dan
terluka. Bagaskara terus memaksa Saraswati untuk pulang ke Surabaya agar dapat
menjenguk cucunya itu, tapi Saraswati terus membuat alasan agar tidak pulang.
Bebarapa hari telah berlalu, tiba-tiba Indrajit menelpon lagi tapi kali ini
Indrajit memperdengarkan suara cucunya yang terus menangis berharap eyang
utinya mau untuk menjenguknya
Akhinya Saras memutuskan untuk kembali ke Surabaya.
Setelah bertemu dengan cucunya, Saraswati merasa sangat tenang dan damai
tenyata kedamaian dan kebahagiaan yang dia cari selama ini ditemukan ketika dia
berkumpul dengan keluarganya.
Novel Ngulandara karya Margana
Djajaatmadja, terdapat Tokoh utama yang menyamar sebagai Rapingun yang menolong
mobil Raden bei Asisten Wedana saat akan melanjutkan perjalanan, mereka
akhirnya dapat melanjutkan perjalanan, mereka dikejutkan karena Rapingun
berusaha lari seperti manusia misterius. Namun Raden Supartinah telah
mengetahui nomor mobil dari Rapingun itu. Ketika suatu hari ada Nyonya Oei Wat
Hien ia bercerita tentang Rapingun yang sangat sopan dan jujur. Karena hal itu
akhirnya Rapingun diangkat sebagai sopir dari keluarga Den Bei Asisten Wedana.
Akhirnya Rapingun sangat kerasan tinggal di tempat Den
Bei, dan telah berhasil menaklukan kuda tersebut. Suatu hari Rapingun bersama
Raden Supartinah pergi ke Magelang, mulailah akhirnya hubungan itu berlanjut
diantara keduanya. Ketika mereka sedang menonton Wayang bersama Den Bei Mantri
Gudhang, dan istrinya Raden Supartinah merasa gelisah karena ada dua pemuda
yang mengintai mereka. Raden Supartinah mengajak pulang , dalam perjalanan
mereka dicegat dua pemuda tadi yang bernama Hardjana. Terjadilah perkelahian
dan tangan Rapingun terluka dan dibawa ke Rumah Sakit ketika pulang mereka
tidak bercerita kepada Den Bei Asisten Wedana. Karena hal itu Den Bei semakin
sayang pada Rapingun karena ada hal yang mendesak akhirnya Rapingun memutuskan
untuk pamit untuk mencari orang Tuanya.
Akhir dari Cerita ini yaitu terbongkarnya Rapingun
yang adalah seorang raden Mas Sutanta karena secara tidak sengaja Den Bei
Mantri Guru tahu asal usul dari Rapingun itu. Akhirnya Raden mas Sutanta menikah
dengan Raden Supartinah dan mempunyai seorang yang menambah kebahagian keluarga
Den Bei Asisten Wedana.
Tema merupakan gagasan utama yang mendasari sebuah
novel. Diatas telah dikemukakan bahwa semua novel tradisional mulai dengan ide
yang memberi inspirasi pengarang mulai menulis. Tentang bagaimana pengarang
mengembangkan ide ke dalam novel.
Novel katresnan lingsir sore termasuk novel
tradisional, karena itu konsepsi Robert G. Meredith dan John D. Fitzgerald
dapat diterapkan padanya. Pengalaman seseorang berdasarkan sesuatu tang telah
kita lihat atau dengar dapat memberikan ide untuk novel. Kecuali itu ide yang
berdasarkan pengalaman pengarang baik secara langsung maupun tidak langsung
yakni sebagai seorang wanita yang jatuh cinta lagi setelah lama menjanda dan
sebagai seorang ibu yang memebesarkan dan mendidik anaknya dengan seluruh jiwa
raga sampai anak-anaknya menjadi seorang yang berhasil.
Tema
novel Ngulandara adalah
petualangan hidup Rapingun/Raden
Mas Susanto
Alur cerita direncanakan oleh pengarang, pada
umumnya cerita bergerak melalui serentetan peristiwa menuju klimaks dan
berakhir sampai pada penyelesaian yang logis. Kekuatan–kekuatan yang mendorong
adalah kejadian-kejadian yang menggairahkan pembaca dan merupakan bentuk cerita
Yunani menggambarkan alur atau plot dalam novel
Katresnan Lingsir Sore adalah disusun secara urut atau alur maju. pertama
dimulai dari kepergian Saraswati ke Singapura diteruskan dengan perkenalannya
dengan Indrajit yang pada akhirnya mereka jatuh cinta, cinta mereka semakin
bersemi yang akhirnya konflik mulai timbul disebabkan karena adanya kisah cinta
antara Rangga dan Ananda konflik memuncak (dalam episode 2). Penyelesaian
dengan jalan Saraswati mengalah dan merestui hubungan permenikahan Rangga
dengan Ananda (pada episode ke-3) penyelesaian dari semua masalah pada (episode
4)
Alur
yang digunakan dalam
novel Ngulandara karya Margono Djajatmadja adalah
alur maju
Abrams mendefinisikan latar menyaran pada pengertian
tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial, tempat terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Sedangkan Panuti Sudjiman mendefinisikan latar
sebagai segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu,
ruang dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra.
Latar dalam novel Katresnan Lingsir Sore terdiri
dari di Singapura dan di Surabaya, Hotel Holiday Inn. di Surabaya
Latar dalam novel Ngulandara terdiri dari latar
tempat di tengah-tengah bulak
Kledhung, Rumah Raden Bei Asisten
Wedana, Kandang kuda, Pasar malam, Lestoran.
Tokoh utama dalam novel Katresnan Lingsir Sore
adalah Saraswati dan Indrajit, Berdasarkan frekuensi kehadirannya maka dapat
dipastikan bahwa pelaku utama atau tokoh sentral Novel Katresnan Lingsir sore
adalah Saraswati.. Dalam novel ini sarswati adalah tokoh utama yaitu ia
berperan sebagai seorang ibu yang mempunyai dua orang anak dan juga sebagai
seorang janda yang sudah 10 tahun bercerai dari suaminya, yang akhirnya jatuh
cinta kembali dengan seorang pria yang juga adalah seorang duda.
Tokoh utama dalam novel Ngulandara adalah Rapingun.
Sudut pandang pada Novel Katresnan lingsir Sore
adalah menggunakan sudut pandang serba tau.
Sudut
pandang pada novel Ngulandara
adalah sudut pandang
persona ketiga “Dia” dan sudut
pandang persona pertama “Aku”
Amanat Dalam novel Katresnan Lingsir Sore terdapat
pesan bahwa cinta itu bisa terjadi pada siapa saja dan umur berapa saja. Cinta
sejati kadang tidak harus berakhir dalam ikatan perkawinan. Cinta sejati hanya
mengenal ketulusan mencintai, melindungi dan memberikan yang terbaik bagi orang
yang dicintai tanpa menuntut balasan apapun dan tanpa adanya paksaan apapun.
Amanat dalam novel Ngulandara meliputi empat wujud
nilai moral. Nilai moral hubungan manusia dengan Tuhannya meliputi
bersyukur kepada Tuhan. Nilai moral
hubungan manusia dengan manusia lain
meliputi keakraban, rela
berkorban, dan menghormati
majikan. Nilai moral hubungan manusia
dengan alam sekitar
menyayangi binatang. Nilai
moral hubungan manusia dengan
dirinya sendiri meliputi
pantang menyerah, kasih sayang, dan sikap bijak.
Memperbandingkan tokoh utama dalam
Novel Ngulandara dan Novel Katresnan Lingsir Sore.
Perwatakan adalah lukisan ‘image’sesorang yang dapat
dipandang dari segi fisik, psikis, dan sosiologis.
1.
segi fisik
pengarang
melukiskan watak pelaku misalnya tampang, umur, raut muka, rambut, bibir,
hidung, bentuk kepala, warna kulit, pakaian dan cacat tubuh.
2.
segi psikis
pengarang
melukiskan watak pelaku melalui pelukisan gejala-gejala pikiran, perasaan dan
kemauan pelaku. Dengan jalan ini pelaku dapat mengetahui bagaimana watak
pelaku.
3.
segi sosiologis
pengarang
melukiskan watak pelaku melalui pelukisan lingkungan hidup kemasyarakatan.
A.
Tokoh utama dalam novel Katresnan Lingsir Sore adalah Saraswati dan Indrajit
Saraswati
Ikhlas
Indikator: Pancen
perih banget. Nanging demi kanggo anake, dheweke kudu ikhlas ngurbanake
katresnane. Apa wae sing ora dikurbanake kanggo anak-anake?Saraswati rila lan
ikhlas.
Kuat
Indikator:
“aja salah salah tampa, aku ngerti banget kowe dudu wanita sing ringkih lan
kesed”
Trengginas,
lincah, mandiri, dan berkepribadian kuat
Indikator: nanging
sing luwih narik atine Indrajit merga Saras trengginas, lincah, mandiri, lan
nduweni kepribadian kuwat.
Bimbang
Indikator: atine
sigar dadi loro. Separo kepengen prasetyne sakawit ora arep omah-omah maneh,
separo kepengen nyoba omah-omah anggere karo Indrajit.
Perhitungan
dalam memilih sesuatu
Indikator: “Wah,
slirane kuwi etungan banget yen ngadepi panganan
Mengayomi
Indikator: ora
krasa tangane cekelan lengene Saraswati, digoceki kenceng baget. Saraswati
tanggap, banjur ngrangkul Ananda, kaya patrape ibu pengen ngayomi anake sing
keweden
Indrajit
Sabar
Indikator: kejaba
nggantheng, gagah uga kebak kawigaten lan sareh. Senajan sing dideleng mung
saklebetan wae, nanging saras wis bisa ngrasakake, katrenteman sing sumebar
saka anggane wong lanang kuwi
Setia
Indikator: “saras,
aku mung ngandhakake pesene anaku lan anakmu. Dene kok tanggepi apa ora kuwi
hakmu. Nanging aku tetep ngarep-arep balimu, nganti kapan wae selawase uripku.
Lawang tak bukak selawase, sakwanci-wanci kowe teka tak papagae kanti rasa
tresnaku, kang ora bakal surut selawase….” indrajit nahan tangise.
Mau mengalah
Indikator: “aku
ora arep nglarang kowe nyambut gawe, ora arep ngurangi kebebasanmu. Lan sing
perlu kok ngerteni, aku sabar, dhemen ngalah, lan ora cethil,” kandhane karo
ngruketake pangrangkule.
B. Tokoh utama dalam
Novel Ngulandara adalah Rapingun
Rapingun
Suka
menolong
Indikator
: “Punapa ndara, kendel
wonten ngriki?, Ingkang
rewel punapanipun, ndara? Kula
kepareng nuweni? Mbok menawi saged ngleresaken.”
‘Kenapa tuan, berhenti di sini. Yang rusak
apanya, tuan? Saya boleh mencoba? Siapa
tau bisa membenarkan.’
Pekerja
keras
Indikator
: “Boten saetu kok
Den Ayu. Tiyang
kula samenika boten
kados sopir sanes-sanesipun. Watakipun
alus, temen, prigel,
gematosipun dhateng oto inggih
kinclong-kinclong ajegan. Lenggananipun
mindhak kathah. Dalah para
langganan kemawon sami
ngalem. Pancen piyambakipun saged nuju manahipun lengganan.”
‘Tidak
beneran Den Ayu.
Dia itu berbeda
dengan sopir yang
lain-lainya. Wataknya halus, jujur, pinter, rajin juga membersihkan
terus sampai mobil mengkilap-kilap
dibuatnya. Lengganannya tambah
banyak. Dan para langganan saja
pada memuji. Memang
dia bisa mengambil
hatinya pelanggan.’
Bertanggung
jawab
Indikator
: “O, ya talah Rapingun, pantes kowe
dadi sedulurku, semono anggonmu ngayomi menyang awakku.”
‘O,
ya Tuhan Rapingun,
pantas kamu menjadi
saudaraku, segitunya kamu
melindungi jiwaku.’
Mandiri
Indikator
: “O, ngger, sanadyan kowe ora nyambut gawe, rak ora kekurangan apaapa ta.
Dhuwet saka sewan
omah sesasine, kuwi
rak wis cukup
ko anggo nuruti kasenenganmu.
Dene kagem dhahare
bapakmu cukup saka peparingdalem
pensiunan. Saben aku
ngisis sandhanganmu kang tumpuk-tumpuk ana
lemari lan koper, atiku
ora kena ditata. O,
ngger, anakku. Saya keranta-ranta
maneh atiku, dene
lungamu ora sangu dhuwit lan nggawa salin
salembar-lembara…..”
‘O,
anakku, walaupun kamu
tidak bekerja, tidak
kekurangan apa-apa kan, hanya
dari kontrakan rumah perbulan kan juga sudah
cukup kamu buat nuruti kesenangan kamu. Kalau buat makan ayah kamu cukup
dari uang pensiunan. Setiap
aku mengangin-anginkan baju
kamu yang tertumpuk di
almari dan koper,
hatiku tidak bisa
ditata. O, anakku semakin sedih hatiku kepergianmu tidak
membawa uang dan baju ganti satu lembarpun.’
Pemberani
Indikator
: “E, aja. Aja temenan lo Rap! Aku ora eman jarane, sing take man kowe.
Jaran kuwi pancene
mono becik temenan,
nanging gemblung. Mulane para panegar ora ana sing wani
nunggangi.”
‘E, jangan. Jangan beneran lo Rap! aku tidak
sayang sama kudane, yang tak sayang kamu. Kuda itu memang bagus beneran, tetapi
gila. Makanya para kusir tidak ada yang berani menaikinya.’
Berbakti
kepada orang tua
Indikator
: “Nuwun, Ndara, saestunipun
sampun sawetawis dinten
menika kula tansah kangetan
dhateng tiyang sepuh kula. Sampun meh sedasa wulan menika kulo boten tuwi,
mangka anakipun namung setunggal thil kula piyambak.”
‘Maaf,
Tuan, beneran sudah
sejak hari itu
saya selalu teringat
dengan orang tua saya. Sudah mau sepuluh bulan itu saya tidak pulang,
padahal anaknya hanya satu saja saya sendiri.’
Dalam makalah ini dapat disimpulkan bahwa perwatakan
tokoh utama dalam kedua Novel itu mempunyai perbandingan yang sama, ini
terlihat dari rapingun sebagai tokoh utama dalam
Novel Ngulandara cenderung lebih lantang berbicara dan tegas dalam
melakukan tindakan. Pengarang dalam novel Ngulandara yaitu Margana
Djajaatmaja dalam menggambarkan perwatakan tokoh Rapingun cenderung lebih
lantang dalam berbicara dan tegas dalam melakukan tindakan karena settingnya
pada jaman kraton dan dalam keluarga darah biru. Digambarkan dalam novel
ngulandara, Rapingun sebagai seorang yang Baik hati dan Suka monolong tanpa
mengaharapkan imbalan, Humoris atau juga lucu orangnya, Pandai dan cerdas dalam
berbicara, Sopan dan santun dalm bertindak dan mengerti tata krama, Rendah hati
dan tahu diri bahwa dia adalah seorang abdi dalem, Selalu jujur dan berbicara
dengan lantang. Sedangkan tokoh Indrajit dalam Novel Katresnan Lingsir
sore karya yunani, digambarkan sebagai seorang Sabar, Setia,
dan Mau mengalah. Novel tersebut digambarkan sebagai kehidupan nyata pada
masa sekarang ini.
Yunani, 2000, Katresnan Lingsir
Sore, Yayasan Penerbit Jayabaya
Djajaatmajdja, Margana,
1957. Ngulandara, Djakarta: Dinas penerbit balai Pustaka Djakarta
Endraswara,
Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian
Sastra. Yogyakarta:
Media Pressindo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar