Nama : Aditya Denny S Tugas 2 ( Slametan)
NIM : 2601413085
Rombel : 3
Mata Kuliah : Budaya Jawa
Slametan Pitung Dinten
Penghormatan ala Jawa bagi orang yang telah
meninggal. Dalam pemahaman orang Jawa, bahwa nyawa orang yang telah mati itu
sampai dengan waktu tertentu masih berada di sekeliling keluarganya. Masyarakat
Jawa pada umumnya masih berpegang teguh dalam melestarikan tradisi kebudayaan
nenek moyangnya. Mayoritas masyarakat Jawa juga masih mempercayai eksistensi
ruh seseorang yang telah berpisah dari raganya sebagai penghormatan terakhir
padanya. Upacara slametan merupakan salah satu budaya Jawa untuk menghormati
orang yang telah meninggal. Praktik upacara selamatan atau tahlilan pada
umumnya dianut oleh kaum Islam Abangana atau islam kejawen, sedangkan bagi
kaum Islam Putihan (santri) praktik selamatan tersebut tidak sepenuhnya
dapat diterima, kecuali dengan membuang unsur-unsur syirik yang menyolok.
Karena itu bagi kaum santri, selamatan adalah upacara do’a bersama dengan
seorang pemimpin yang kemudian diteruskan dengan makan-makan bersama sekedarnya
dengan tujuan untuk mendapatkan keselamatan dan perlindungan dari Allah Yang
maha Kuasa. Tahlil secara bahasa berasal dari sighat mashdar dari kata
“hallala” yang berarti membaca kalimat la ilaha illallah. Tahlilan
adalah mengunakan atau memakai bacaan tahlil untuk tujuan tertentu. Sekarang
tahlilan digunakan sebagai istilah bagi perkumpulan orang untuk melakukan doa
bersama bagi orang yang sudah meninggal. Oleh karena itu kita sering mendengar istilah
selametan yang dilakukan untuk orang yang telah meninggal. Setelah jenazah
dikebumikan terdapat tradisi selametan yang haruh dijalankan. Bagi masyarakat,
selamatan yang berkenaan dengan kematian tidak hanya dilakukan pada malam
pertama (turun tanah) saja, tetapi juga malam ke-2 (mendua
hari), ke-3 (meniga hari), ke-7 (memitung hari),
ke-25 (mayalawi), ke-40 (mematang puluh), yang disebut sebagai
dan ke-100 hari (manyaratus hari), dan 1000 hari (nyewu) terhitung
dari meninggalnya seseorang. Dalam setiap slametan terdapat tahlilan yang harus
dilaksanakan. Dalam pemahaman orang Jawa, bahwa nyawa orang yang telah mati itu
sampai dengan waktu tertentu masih berada di sekeliling keluarganya. Oleh
karena itu kita sering mendengar istilah selametan yang dilakukan untuk orang
yang telah meninggal.
Pitung dinten
Sama
halnya dengan kenduri tigang dinten, yakni dilakukan pada hari ketujuh dari
kematian almarhum. Upacara ini untuk memperingati tujuh hari meninggalnya
seseorang.
Bahan yang digunakan untuk kenduri biasanya terdiri atas :
Bahan yang digunakan untuk kenduri biasanya terdiri atas :
1. Kue
apem yang di dalamnya diberi uang logam, ketan, kolak (semuanya diletakkan
dalam satu takir)
2. Nasi
asahan tiga tampah, daging goreng, pindang merah yang dicampur dengan kacang
panjang yang diikat kecil-kecil, dan daging jeroan yang ditempatkan dalam wadah
berbentuk kerucut (conthong), serta pindang putih.
Semua rangkaian upacara dan persiapan sesajen diatas
kemudian oleh wali songo di-islamisasi-kan dengan ditambah doa-doa mayit,
yasinan, fida’an, tahlilan yang dilakukan pada waktu-waktu itu. Walaupun
tradisi yang telah diwariskan oleh nenek moyang ini terlihat sangat kental
dengan aura mistik yang sangat mendekati kemusyrikan dan kejahiliyyahan, namun
oleh gagasan kreatif wali songo, tradisi tersebut dimodifikasi kembali hingga sesuai
dengan ajaran Islam. Pelaksanaan kenduri lebih ditekankan pada pembacaan doa
yang ditujukan kepada almarhum, sedangkan sesaji nantinya dimaksudkan untuk
bersedekah. Sehingga tradisi tahlilan dan semacamnya ini bertujuan
untuk bahan pembelajaran masyarakat (piwulang) yang lebih baik dan lebih
Islami, dan bukan untuk tujuan nihayah (meratapi si mayit). Selain
itu, acara semacam ini dimaksudkan sebagai sarana dakwah yang mampu melebur
dengan budaya setempat dan menumbuhkan kesadaran kepada masyarakat lokal bahwa
kematian bukan merupakan sesuatu yang harus ditakuti dan dikeramatkan,
melainkan sebagai proses penyadaran akan beratnya proses kematian yang dialami
seseorang sehingga timbul rasa bakti dan hormat kepada orang tua yang dapat
dimplementasikan dalam wujud doa.
Tokoh
di dalam upacara slametan pitung dinten
biasanya hanya yang mempunyai hajat, keluarga, kerabat, serta tetangga desa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar