Senin, 29 Desember 2014

Slametan Pitung Dino



Nama               : Aditya Denny S                                                                    Tugas 2 ( Slametan)
NIM                : 2601413085
Rombel            : 3
Mata Kuliah    : Budaya Jawa

Slametan Pitung Dinten
Penghormatan ala Jawa bagi orang yang telah meninggal. Dalam pemahaman orang Jawa, bahwa nyawa orang yang telah mati itu sampai dengan waktu tertentu masih berada di sekeliling keluarganya. Masyarakat Jawa pada umumnya masih berpegang teguh dalam melestarikan tradisi kebudayaan nenek moyangnya. Mayoritas masyarakat Jawa juga masih mempercayai eksistensi ruh seseorang yang telah berpisah dari raganya sebagai penghormatan terakhir padanya. Upacara slametan merupakan salah satu budaya Jawa untuk menghormati orang yang telah meninggal.  Praktik upacara selamatan atau tahlilan pada umumnya dianut oleh kaum Islam Abangana atau islam kejawen, sedangkan bagi kaum Islam Putihan (santri) praktik selamatan tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima, kecuali dengan membuang unsur-unsur syirik yang menyolok. Karena itu bagi kaum santri, selamatan adalah upacara do’a bersama dengan seorang pemimpin yang kemudian diteruskan dengan makan-makan bersama sekedarnya dengan tujuan untuk mendapatkan keselamatan dan perlindungan dari Allah Yang maha Kuasa. Tahlil secara bahasa berasal dari sighat mashdar dari kata “hallala” yang berarti membaca kalimat la ilaha illallah. Tahlilan adalah mengunakan atau memakai bacaan tahlil untuk tujuan tertentu. Sekarang tahlilan digunakan sebagai istilah bagi perkumpulan orang untuk melakukan doa bersama bagi orang yang sudah meninggal. Oleh karena itu kita sering mendengar istilah selametan yang dilakukan untuk orang yang telah meninggal. Setelah jenazah dikebumikan terdapat tradisi selametan yang haruh dijalankan. Bagi masyarakat, selamatan yang berkenaan dengan kematian tidak hanya dilakukan pada malam pertama (turun tanah) saja, tetapi juga malam ke-2 (mendua hari), ke-3 (meniga hari), ke-7 (memitung hari), ke-25 (mayalawi), ke-40 (mematang puluh),  yang disebut sebagai dan ke-100 hari (manyaratus hari), dan 1000 hari (nyewu) terhitung dari meninggalnya seseorang. Dalam setiap slametan terdapat tahlilan yang harus dilaksanakan. Dalam pemahaman orang Jawa, bahwa nyawa orang yang telah mati itu sampai dengan waktu tertentu masih berada di sekeliling keluarganya. Oleh karena itu kita sering mendengar istilah selametan yang dilakukan untuk orang yang telah meninggal.
Pitung dinten
Sama halnya dengan kenduri tigang dinten, yakni dilakukan pada hari ketujuh dari kematian almarhum. Upacara ini untuk memperingati tujuh hari meninggalnya seseorang.
Bahan yang digunakan untuk kenduri biasanya terdiri atas :
1.      Kue apem yang di dalamnya diberi uang logam, ketan, kolak (semuanya diletakkan dalam satu takir)
2.      Nasi asahan tiga tampah, daging goreng, pindang merah yang dicampur dengan kacang panjang yang diikat kecil-kecil, dan daging jeroan yang ditempatkan dalam wadah berbentuk kerucut (conthong), serta pindang putih.
Semua rangkaian upacara dan persiapan sesajen diatas kemudian oleh wali songo di-islamisasi-kan dengan ditambah doa-doa mayit, yasinan, fida’an, tahlilan yang dilakukan pada waktu-waktu itu. Walaupun tradisi yang telah diwariskan oleh nenek moyang ini terlihat sangat kental dengan aura mistik yang sangat mendekati kemusyrikan dan kejahiliyyahan, namun oleh gagasan kreatif wali songo, tradisi tersebut dimodifikasi kembali hingga sesuai dengan ajaran Islam. Pelaksanaan kenduri lebih ditekankan pada pembacaan doa yang ditujukan kepada almarhum, sedangkan sesaji nantinya dimaksudkan untuk bersedekah. Sehingga tradisi tahlilan dan semacamnya ini bertujuan untuk bahan pembelajaran masyarakat (piwulang) yang lebih baik dan lebih Islami, dan bukan untuk tujuan nihayah (meratapi si mayit). Selain itu, acara semacam ini dimaksudkan sebagai sarana dakwah yang mampu melebur dengan budaya setempat dan menumbuhkan kesadaran kepada masyarakat lokal bahwa kematian bukan merupakan sesuatu yang harus ditakuti dan dikeramatkan, melainkan sebagai proses penyadaran akan beratnya proses kematian yang dialami seseorang sehingga timbul rasa bakti dan hormat kepada orang tua yang dapat dimplementasikan dalam wujud doa.
Tokoh di dalam upacara slametan pitung dinten biasanya hanya yang mempunyai hajat, keluarga, kerabat, serta tetangga desa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar