Satu hal
yang menjadi ciri khas kota Semarang, utamanya bila menyambut bulan suci
Ramadhan. Tradisi ini disebut sebagai Dugderan. Dugderan berasal dari kata Dug
yang merupakan suara pukulan bedug dan Der yang berasal dari suara meriam atau
petasan yang diledakkan. Maksudnya adalah diawali dengan tabuhan bedug dan
diakhiri dengan letusan meriam atau petasan, maka akhirnya Dug dan Der
disatukan menjadi Dugderan. Tradisi Dugderan ini ternyata mempunyai kisah yang
menarik.
Di masa
pemerintahan Bupati Semarang, Tumenggung Purboningrat pada abad ke-19,
penetapan bulan Ramadhan dikalangan masyarakat berbeda-beda dan hal ini yang
menjadikan Tumenggung Purboningrat prihatin. Walhasil, beliau ingin menyatukan
semua elemen penetapan yang berbeda-beda tersebut.Beliau mengumpulkan seluruh
warganya di Masjid Agung Semarang yang berada di lingkungan Pasar Johar saat
ini, dengan mengadakan tradisi pengumuman jatuhnya bulan puasa. Tradisi ini
diawali dengan pemukulan bedug yang menandakan bahwa Bupati akan mengadakan
pidato bersama dengan ulama Masjid Agung tentang penetapan hari pertama bulan
Ramadhan. Pidato itu disampaikan dalam bahasa Jawa Kromo Inggil dan diakhiri
dengan suara dentum meriam yang terdengar seakan berbunyi Der. Biasanya meriam
dibunyikan ketika menjelang adzan Maghrib berkumandang. Nah, sejak itulah
tradisi Dugderan berkembang di kalangan masyarakat kota Semarang hingga detik
ini.
Selama seminggu sebelum bulan Ramadhan juga diadakan pasar kaget yang hanya ada di bulan Ramadhan. Pasar tersebut diberi nama pasar Dugderan. Yang dijual bermacam-macam, mulai dari mainan tradisional seperti peralatan masak tradisional ukuran mini, mobil-mobilan, truk kayu dengan berbagai ukuran, kurma, busana muslim, makanan sampai aneka macam permainan semua tumpah ruah. Yang unik dari Pasar Dugderan Semarang ini adalah dijualnya Warak Ngendhog (artinya Warak bertelur), makhluk imajiner yang menjadi maskot kota Semarang sejak dulu. Warak Ngendhog hanya dapat dijumpai pada saat pasar Dugderan dan dulu adalah mainan favorit anak-anak Semarang kala menyambut bulan Puasa. Warak Ngendhog dijual dalam berbagai ukuran, mulai ukuran kecil sampai ukuran besar yang bisa dinaiki anak kecil. Pada pasar Dugderan 2011, Warak Ngendhog ukuran kecil dijual seharga Rp 25.000,00. Sedangkan ukuran terbesar dijual dengan harga nominal Rp 150.000,00.
Selama seminggu sebelum bulan Ramadhan juga diadakan pasar kaget yang hanya ada di bulan Ramadhan. Pasar tersebut diberi nama pasar Dugderan. Yang dijual bermacam-macam, mulai dari mainan tradisional seperti peralatan masak tradisional ukuran mini, mobil-mobilan, truk kayu dengan berbagai ukuran, kurma, busana muslim, makanan sampai aneka macam permainan semua tumpah ruah. Yang unik dari Pasar Dugderan Semarang ini adalah dijualnya Warak Ngendhog (artinya Warak bertelur), makhluk imajiner yang menjadi maskot kota Semarang sejak dulu. Warak Ngendhog hanya dapat dijumpai pada saat pasar Dugderan dan dulu adalah mainan favorit anak-anak Semarang kala menyambut bulan Puasa. Warak Ngendhog dijual dalam berbagai ukuran, mulai ukuran kecil sampai ukuran besar yang bisa dinaiki anak kecil. Pada pasar Dugderan 2011, Warak Ngendhog ukuran kecil dijual seharga Rp 25.000,00. Sedangkan ukuran terbesar dijual dengan harga nominal Rp 150.000,00.
Pasar Dugderan saat saya datang pertama kali di tahun
2008 dipusatkan di lapangan Masjid Agung Jawa Tengah. Kemudian di tahun 2009
masih di lokasi yang sama, sementara tahun 2010 terpecah jadi dua lokasi, yakni
Pasar Johar dan lapangan Masjid Agung Jawa Tengah. Terakhir tahun 2011 lebih
dipusatkan di Pasar Johar mungkin untuk alasan kemudahan.
Dugderan dimulai sehari sebelum bulan Ramadhan. Saya sudah mengikuti Dugderan ini sebanyak tiga kali, sesuai berapa tahun saya menetap di kota Lunpia ini. Tradisi Dugder ini diawali dengan pemukulan bedug oleh Bupati yang dilakonkan oleh Walikota Semarang setelah dibacakannya pidato dalam bahasa Jawa Halus yang menitikberatkan pada pentingnya persatuan dan kesatuan umat serta masyarakat terlebih menjelang bulan suci ini. Dugderan juga selalu ada yang namanya arak-arakan alias karnaval yang diikuti berbagai elemen masyarakat. Uniknya sebagian besar peserta menggunakan tema mobil hias yang sama, yakni Warak Ngendhog yang merupakan perpaduan tiga unsur pembentuk budaya Semarang, yakni Jawa, Cina dan Arab.
Dugderan dimulai sehari sebelum bulan Ramadhan. Saya sudah mengikuti Dugderan ini sebanyak tiga kali, sesuai berapa tahun saya menetap di kota Lunpia ini. Tradisi Dugder ini diawali dengan pemukulan bedug oleh Bupati yang dilakonkan oleh Walikota Semarang setelah dibacakannya pidato dalam bahasa Jawa Halus yang menitikberatkan pada pentingnya persatuan dan kesatuan umat serta masyarakat terlebih menjelang bulan suci ini. Dugderan juga selalu ada yang namanya arak-arakan alias karnaval yang diikuti berbagai elemen masyarakat. Uniknya sebagian besar peserta menggunakan tema mobil hias yang sama, yakni Warak Ngendhog yang merupakan perpaduan tiga unsur pembentuk budaya Semarang, yakni Jawa, Cina dan Arab.
Arak-arakan mobil bertema Warak Ngendhog ini akan
menempuh jalur antara Balaikota sampai dengan Masjid Agung Jawa Tengah (dulunya
hanya sampai di Masjid Agung Semarang yang ada di Pasar Johar) dan biasanya
para warga sudah berjubel di jalanan sejak siang harinya ketika acara belum
dimulai. Hiasan pada mobil atau manggar yang dibawa peserta karnaval biasanya
akan diambil oleh warga hingga ketika sampai di Masjid Agung Jawa Tengah,
hiasan mobil sudah habis. Sayapun geli sendiri karena juga ikut mengambilkan
hiasan bunga kertas itu untuk pengunjung. Rutenya pun kadang berubah setiap
tahun, tapi biasanya selalu melewati kawasan Masjid Agung Semarang dan Simpang
Lima dan berakhir di Masjid Agung Jawa Tengah yang diresmikan tahun 2006. Pidato
Walikota yang memerankan bupati dan pemukulan beduk sebagai awal pawai. Arak-arakan
Warak Ngendhog inilah yang menjadi daya tarik bagi masyarakat termasuk
wisatawan yang berkunjung ke kota Semarang pada saat tradisi Dugderan
dilaksanakan. Warna-warni Warag Ngendhog dan bentuknya yang unik inilah yang
jadi ciri khas. Unsur Cina, Arab dan Jawa menyatu harmonis dalam wujud Warak
Ngendhog serta tradisi Dugderan yang menjadi pemersatu masyarakat kota Semarang
khususnya ketika menetapkan jatuhnya tanggal 1 Ramadhan. Setelah ditetapkannya
1 Ramadhan oleh Ulama Masjid Agung, maka bunyi DER itu yang menjadi penandanya
dan biasanya berlangsung hingga adzan Maghrib berkumandang. Seiring dengan itu,
maka Pasar Dugderan secara resmi juga ditutup dan dibuka lagi di tahun
berikutnya.
Tradisi Dugderan adalah salah satu bentuk kebudayaan
yang terus hidup dan berkembang khususnya di kota Semarang. Pelestarian tradisi
ini sudah cukup intens dilakukan dengan dijadikannya tradisi Dugderan sebagai
agenda tahunan yang selayaknya menjadi atraksi wisata bagi siapa saja yang
bertandang di Semarang khususnya ketika sehari menjelang bulan Ramadhan.
Tunggulah seminggu menjelang Ramadhan untuk Pasar Dugderan dan sehari sebelum
Ramadhan untuk menyaksikan tradisi Dugderannya! Itulah wajah Semarang yang
sebenarnya dan wajah kebhinnekaan Indonesia yang harus kita jaga sampai titik
darah penghabisan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar